Senin, 12 Maret 2012

Berkomunikasi dengan Menulis Fiksi

Menulis Fiksi adalah jalan lain menuju Komunikasi karena menurutnya dalam konteks kebudayaan, aktivitas menulis telah diakui sebagai bagian penting dari keberlangsungan sejarah kehidupan manusia. Selain itu profesi kepenulisan juga telah diakui hak-haknya dalam berbagai konteks pengembangan ilmu, teknologi dan seni. Sehingga dalam realitas social dan budaya terkini, profesi kepenulisan dapat ditekuni sebagai institusi untuk menggapai prestasi. Sedangkan dalam pandangan islam, profesi kepenulisan dapat di dekatkan fungsi dan tujuanya sebagai “ dakwah bil kalam”.” Dengan kata lain menulis fiksi dapat dijadikan salah satu alternative cara untuk berkomunikasi dengan khalayak luas dan sarana untuk mengembangkan aspek-aspek Komunikasi dan Penyiaran islam.” Ungkap Abidah El-Khalieqi saat mengisi Stadium General Mahasiswa Jurusan Kpi pada  22 September di gedung teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Abidah El-Khalieqi, adalah  Penulis Novel “ Perempuan Berkalung Sorban”  yang pernah tembus menjadi best seller dicetak lebih dari 50.000 ex. dan sudah difilmkan . Menurutnya menulis adalah sebuah proses panjang yang butuh perjuangan. “Kalau ternyata kita juga tak bisa menulis, maka tinggalkan kertas dan pena. Lalu tetapkan diri dan hati, juga akal dan pikiran, bahwa kita masih bisa membaca dan membaca! Iqra, Iqra, Iqra!!!” .  
Perbedaan Creative Writing dengan Academic writing
            Tenik menulis fiksi atau yang lebih dikenal dengan creatif writing sangat berbeda dengan teknik dan cara penulisan akademik ( academic writing). Perbedaan itu dapat dihat dari tatacara dan aturan yang di gunakan dalam proses penulisanya.” Pada dasarnya, menulis fiksi itu tidak memiliki aturan yang pasti dan seragam sehingga setiap orang bebas mengembangkan teknik dan cara menulis sesuai dengan kompetensi, wawasan, dan pengalaman yang dimiliki. Sementara pada proses penulisan akademik hanya memiliki satu jalan, yang bersifat mengikat dan seragam. Tak mengherankan jika dari Amerika hingga Irian jaya pun bentuk tulisan akademik itu sama.” Jelas Abidah.
            Namun demikian menurut  Abidah, apapun bentuk tulisanya, baik fiksi maupun akademi semuanya memerlukan sumber bahan yang sama yaitu ide, gagasan, konsep, analisa, pemikiran dan perenungan yang didasarkan pada realitas, fakta, dan data-data yang diperoleh dari kehidupan manusia, atau segala peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. “makaitu saya berpendapat bahwa tulisan fiksi atau akademi itu sama-sama memiliki unsure ilmiah. Sehingga kurang tepat rasanya jika selama ini, banyak pakar yang masih membedakan bentuk karya tulisan kedalam dua istilah, yaitu: ragam karya ilmiah dan ragam karya fiksi. Karena dengan istilah itu, seolah-olah karya fiksi tidak ilmiah bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai sampah intelektual. Barang kali itu sebabnya, hanya sedikit kaum akademik yang mau membaca karya fiksi.” Tandasnya
Proses menulis Fiksi
            Untuk menulis karya fiksi, di perlukan proses kreatif yang secara umum meliputi pelatihan, penciptaan, dan pengembangan. Aspek pelatihan bisa kita mulai dengan mencatat berbagai pengalaman, kesedihan dan kegembiraan. Tulis saja kesan-kesan terhadap suatu bacaan, peristiwa atau kejadian kemudian catatan ini dapat dikumpulkan sebagai bahan cerita. Pada Aspek penciptaan mengisyaratkan adanya minat dan bakat, perjuangan dan kepercayaan diri sehingga bentuk dan jenis tulisan yang dihasilkan dapat dinyatakan oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain kegiatan penciptaan ini menghendaki adanya untuk menulis fiksi sebanyak-banyaknya. Sedangkan aspek pengembangan lebih merujuk pada kegiatan yang lebih spesifik untuk meningkatkan kualitas diri dan karya yang dihasilkan. Kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan kualitas ini, merupakan aspek paling menentukan dalam proses kreatif penulisan. Sehingga karya-karya yang sudah dihasilkan dapat kemudian dipublikasikan yang kemudian penulis fiksi dapat berkomunikasi dengan pembaca melaui karyanya yang tidak terbatas. Dan ketika para pembaca memberikan apresiasi terhadap karya tersebut maka siapapun dia, tanpa terkecuali akan mendapatkan citra dan status baru sebagai : Cerpenis, Novelis, Pengarang dan atau Sastrawan.
            Jika ingin menjadi penulis fiksi, maka harus berusaha sebisa mungkin untuk terus menulis dan menulis. Hingga jari-jari berdarah, dan air mata membasahi tanah. Jangan berhenti menulis, kecuali ada pilihan lain yang dapat di kerjakan dengan penuh pertimbangan dan kesadaran. Jangan bosan menulis cerpen, meski sebuah cerita tak kunjung selesai dalam satu bulan. “Jika kita memang telah memutuskan untuk berhenti menulis fiksi, dan merasa bosan menulis cerpen, kita harus yakin dan harus bisa menulis dalam bentuk yang lain misalnya artikel, esay, buku dan sebagainya. Dan jika ternyata kita juga tak bisa menulis maka kita masih bisa membaca dan membaca.” Ajak Abidah.( Ved/14)